Untuk memulai segala sesuatu, pasti ada pendahuluannya. Waktu tadi browsing, saya menemukan artikel tentang Sejarah Fotografi. Lumayan juga untuk menambah ilmu, sambil belajar juga. Dimohon kesabarannya untuk membaca karena lumayan panjang juga artikelnya. Selamat menikmati..
Istilah ‘fotografi’ berasal dari dua kata “foto” dan “grafi” yang dalam bahasa Yunani, foto berarti cahaya dan grafi berarti menulis atau melukis, sehingga “fotografi” dapat diartikan sebagai “melukis dengan cahaya”. Dalam fotografi, kehadiran cahaya adalah mutlak perlu, karena mulai dari pemotretan hingga pencetakan film menjadi foto, kedua-duanya membutuhkan cahaya. Menurut catatan sejarah, asal muasal fotografi “ditemukan” secara kebetulan oleh Ibn Al Haitam pada abad ke-10, bahwa pada salah satu dinding tendanya terlihat suatu gambar, yang setelah diselidiki ternyata berasal dari sebuah lubang kecil pada dinding tenda yang berhadapan di dalam tendanya itu. Ternyata pula bahwa gambar tersebut sama dengan pemandangan yang berada di luar tenda, hanya posisinya terjungkir balik, pohon-pohon kurma dengan daun-daunnya berada di bawah, sedangkan badan/batang dan tanah berada di atas (hal ini kemudian diketahui berdasarkan cahaya selalu melintas lurus, sesuai ilmu alam).
Pada abad ke-13, Roger Bacon juga ‘memergoki’ hal serupa di ruang kerjanya; namun baru pada abd ke-15, Leonardo da Vinci memanfaatkan fenomena alam tersebut untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat. Ciptaannya yang terkenal adalah CAMERA OBSCURA (camera=kamar ; obscura=gelap), merupakan cikla bakal kamera yang kita kenal sekarang (penyebutan ‘kamera’ berarti kamera-foto, kamera untuk membuat foto/memotret), tetapi di saat itu, camera obscura betul-betul berupa sebuah kamar gelap dengan salah satu dindingnya dibuatkan sebuah lubang kecil, kemudian di tengah ruang didirikan “dinding” lain dari kertas setengah tembus cahaya untuk menampung gambaran yang tercipta dan berasal dari lubang kecil tersebut, untuk kemudian dijiplak dengan menggunakan alat tulis. Dari kamar gelap tersebut, kemudian diciptakan “kamar gelap” miniatur yang lebih praktis. Pada bagian yang berlubang ditambahkan sebuah lensa, di bagian dalam dipasangkan selembar cermin dengan posisi 45 derajat untuk memantulkan gambaran yang tercipta oleh lensa ke arah atas yang ditutupi selembar kaca bening. Penjiplakan gambar menjadi lebih praktis, juga berkat dipergunakannya sebuah lensa, gambar yang terbentuk menjadi lebih kecil dari wujud aslinya, malah dengan memaju-mundurkan posisi lensa, ketajaman gambar dapat diatur sesuai jarak sasaran terhadap “kamar gelap” tersebut.
Kamera lubang jarum dan daguerrotype Perkembangan lain dari camera obscura yang diminiaturkan adalah kamera lubang jarum (pinhole camera). Kamera ini berupa sebuah kotak dengan salah satu dindingnya dilubangi, dan pada dinding seberangnya dipasangkan kaca buram untuk melihat gambar yang terbentu. Kemudian lubang tersebut dipasangkan sebuah lensa untuk meningkatkan mutu gambar. Dengan hanya berpegang pada fenomena alam, fotografi takkan mencapai tujuan.
Berkat penemuan Heinrich Schulze (1727) mengenai bahan-bahan tertentu, misalnya garam perak yang peka terhadap cahaya, dan warnanya yang semula putih dapat berubah menjadi hitam bila terkena cahaya, fotografi mulai menapak ke arah yang dituju. Thomas Wedgwood (1802) menemukan juga hal serupa, namun kedua-duanya tidak berhasil menjadikan perubahan warna tersebut permanen. Baru pada tahun 1826, Joseph Nicephore Niepce berhasil menjadikan warna hitam itu permanen, ia berhasil membuat semacam klise di atas lembaran timah dengan cara mencelupkan lembaran timah tersebut, yang sebelumnya telah dilaburi bahan peka cahaya dan telah dicahayai, ke dalam larutan asam; namun ia tak sempat melakukan percobaan lebih lanjut karena sakit dan kekurangan biaya. Berkat persahabatannya dengan Louis Daguerre, seorang pelukis yang kaya raya, beberapa percobaannya kemudian dilanjutkan, malah akhirnya diteruskan oleh Daguerre sendiri setelah Niepce meninggal dunia. Selama 11 tahun Louis Daguerre melakukan percobaan-percobaan lanjutan, akhirnya pada tahun 1839, dengan mempergunakan bahan-bahan kimia yang tidak pernah dicoba oleh Niepce,
Daguerre berhasil membuat bahan peka cahaya yang lebih praktis dan dikenal sebagai Daguerrotype, suatu pelat tembaga yang pada satu permukaannya dilaburi bahan peka cahaya. Daguerrotype ini berfungsi sebagai filem dan sekaligus menjadi foto-jadi. Pembuatan daguerrotype ini cukup rumit. Mula-mula pelat tembaga dilapisi perak pada salah satu sisinya, kemudian digosok sedemikian rupa, sehingga terlihat seperti cermin, baru setelah itu permukaannya dilaburi bahan kimia peka cahaya. Bahan kimia tersebut tidak eprnah kering benar, dan dalam pemakaian, ia langsung dipasangkan pada kamera dikamar gelap. Setelah pelat tercahayai, lalu dikembangkan dengan cara diberi uap merkuri yang sedang mendidih, sampai gambarnya timbul. Untuk menjadikan gambarnya permanen, pelat tersebut dicelupkan ke dalam larutan hipo, lalu dicuci dengan air. Karena permukaannya yang menyerupai cermin, daguerrotype ini sulit untuk dipandang dari depan. Kemengkilapannya menyebabkan setiap orang yang memandanginya akan terlihat dirinya pula, ‘berimpitan’ dengan gambar/foto yang dilihatnya. Maka untuk dapat melihatnya dengan baik, harus dari arah agak pinggir, misalnya dari sudut 60-70 derajat. Ada kalanya yang terlihat berupa gambaran negatif, karena pengaruh semacam polarisasi. Permukaan ‘foto’ senantiasa agak lembab, maka foto-foto daguerrotype
harus dilindungi dengan bingkai kaca. Kendala lain adalah kepekaannya amat rendah, sehingga dibutuhkan pencahayaan maha panjang antara 20-40 detik, di kala cuaca amat cerah. Popularitas film daguerrotype ini berlangsung sekitar 15 tahun (1839-1854).
Di saat Joseph Nicephore Niepce dan Louis Jacques Mande Daguerre melakukan experimen, Fox Talbot dengan pikirannya yang lebih maju sudah mengetahui hubungan negatif-positif. Ia menggunakan bahan kertas untuk dijadikan media peka cahaya yang kemudian menghasilkan gambaran negatif, diberi nama Talbotype (1835). Dari negatif tersebut kemudian dilakukan pencetakan ke atas kertas peka cahaya juga. Namun upaya Talbot tertumbuk pada kenyataan, hasil cetakannya itu tak bisa tajam, malah gambarnya menjadi kabur. Beberapa ahli mengetahui, bahwa seharusnya negatif hasil pemotretan terbuat daripada kaca yang bening, sehingga cetakan foto yang tajam dapat terwujud.
Namun belum ditemukan bahan yang dapat menempelkan bahan-bahan kimia peka cahaya ke atas permukaan kaca. Pernah diciptakan lem dari kuku, juga diketahui bahwa putih telur dapat berfungsi sebagai lem terhadap kaca, namun kedua-duanya tidak dapat dipergunakan. Pada tahun 1850, Scott Archer, seorang pemahat, menciptakan metode yang diberi nama ‘collodian’, disebut juga sebagai ‘proses pelat basah’. Ia menerapkan suatu cara dengan melaburi kaca dengan suatu campuran kimia, yang setelah mengering membentuk lapisan film, menyerupai kulit. Film collodian ini diberi emulsi dengan cara dicelupkan ke dalam larutan kimia peka cahaya. Hal yang merepotkan, bahwa film ini harus dipakai untuk memotret dalam keadaan basah, langsung dimasukkan ke dalam kamera. Lalu setelah tercahayai, segera harus dikembangkan, karena bila bahan-bahan kimianya sudah mengering, ia akan kehilangan kepekaan terhadap cahaya. Pada saat yang hampir bersamaan, lahir juga variasi lain dari proses collodian, ialan ambrotype. Film ini terbuat juga dari kaca, dan diberi selaput dengan emulsi collodian.
Dalam pencahayaan sengaja dibuat tercahayai kurang, agar gambaran yang terbentuk akan amat pucat. Gambaran ini bila dilihat di atas permukaan yang putih akan tampil sebagai negatif yang tercahayai kurang, sedangkan bila dilihat dengan latar belakang yang hitam, gambarannya akan tampil menjadi gambar positif yang memadai. Karena pengerjaannya lebih mudah dan harganya lebih murah, ambrotype secara berangsur-angsur menggantikan daguerrotype. Pada tahun 1870-an lahir tintype, suatu variasi lain dari ambrotype. Perbedaannya adalah tintype terbuat dari timah, bukan kaca. Karena dasarnya timah, maka bagian yang seharusnya putih berubah menjadi keabu-abuan dan kecemerlangannya hilang, baik dibandingkan dengan daguerrotype maupun ambrotype. Harga tintype lebih murah daripada ambrotype, merupakan konsumsi masyarakat kebanyakan. Masih berdasar pada proses collodian, terdapat jugavariasi lain, ialah carte-de-visite, jenis ini menggunakan negatif kaca. Film ini lebih cocok dipakai pada kamera berlensa banyak, misalnya enam atau delapan buah, sehingga sekali potret akan diperoleh banyak foto. Maka dari itu variasi ini disebut “carte-de-visite” yang artinya kira-kira “kartu perkenalan”. Negatif kaca tersebut dapat dicetak berulang-ulang.
Sejak daguerrotype hingga carte-de-visite, semuanya mengharuskan pemotretnya atau pemotretan berdekatan dengan kamar gelap, sebag pelat-pelat peka cahaya tersebut harus dilaburi emulsi dan diproses pada lokasi sekitar atau berdekatan dengan lokasi pemotretan. Baru kemudian setelah ditemukan sistem pembuatan pelat kering oleh George Eastman pada tahun 1880, fotografi memasuki era baru. Dasar pertama untuk menjadikan kering pelat basah adalah dengan menyelaputi permukaan kaca dengan gelatin yang mengandung emulsi foto (bahan peka cahaya). Dengan demikian, kemudian pelat-pelat kaca beremulsi dapat dijual kepada konsumen foto. Pemrosesan pelat yang telah tercahayai tidak harus segera pula, melainkan boleh dilakukan kapan saja.
Era Baru Fotografi George Eastman, pendiri perusahaan Kodak Eastman Company, semula adalah karyawan bank. Berkat temuannya berupa pelat kering pada tahun 1880, fotografi menjadi lebih praktis, dan perkembangan fotografi beralih dari daratan Eropa ke Amerika. Pelat kering yang terbuat dari kaca, akhirnya disadari kurang praktis juga, karena dalam perjalanan bisa pecah, juga dalam jumlah banyak meurpakan beban, di samping makan tempat juga cukup berat. Maka pada tahun 1885 lahir film rol pertama, dan sejak saat itu nama “Kodak” mulai diperkenalkan. Film rol pertama itu tidak sama dengan film rol yang kita kenal sekarang. Film tersebut terdiri dari dua lapis : gelatin beremulsi dan bahan dasar kertas. Selain itu film setelah tercahayai, harus dikirim ke lab Kodak untuk diproses.
Dalam pengembangannya berlangsung seperti biasa, hanya setelah selesai, lapisan gelatin bermulsi yang telah mengandung gambar harus dilepas, dipisahkan dari kertas, negatifnya masih tetap berupa negatif kaca juga. Namun dengan film rol yang dinamakan ‘paper film’ itu, para pemotret tidak dibebani seperti pada zaman pelat basah. Kamera modern pertama di dunia, Kodak No.1, lahir pada tahun 1888. kamera ini dapat diisi dengan film rol untuk 100 bidikan. Dalam praktek terdapat suatu kendala, karena film harus diisi dan dikeluarkan di lab Kodak, yang berarti kamera pemakai harus berulang kali masuk keluar lab Kodak bila hendak dipakai
memotret. Kamera Kodak No.1 itu walaupun masih besar bila dibandingkan dengan kamera-kamera yang lahir kemudian, tetapi di saat itu sudah terbilang ringkas dan bisa bebas dari keharusan menggunakan kakitiga, yang merupakan pelengkap bawaan dan harus senantiasa menempel pada kamera.
Pada tahun 1889, Kodak memperkenalkan film rol baru yang lebih lentur, dan sudah seperti film yang kita kenal sekarang. Maka sejak saat itu mulai diproduksi film-film rl panjang untuk kebutuhan sinematografi. Kelemahan pada film Kodak waktu itu adalah sukarnya dipeorleh permukaan yang rata, terutama pada lembaran-lembaran yang agak besar. Baru kemudian, pada tahun 1913 film lembaran (sheet film) dengan mutu yang lebih sempurna berhasil dibuat. Maka sejak saat itu, pelat-pelat kaca dan film-film berstruktur primitif secara berangsur-angsur digantikan dengan produk penemuan-penemuan baru dengan struktur lebih sempurna. Dari kesanggupan manusia membuat film rol yang panjang, dan kemudian ditemukan bahan pembuat film aman (safety film) yang terbuat dari selulosa-asetat yang rambat-nyalanya lambat, mulailah dari fotografi manusia menjajaki sinematografi. Lalu film-film panjang mulai dibuat dalam format 35mm. Dengan pengalihan produksi kamera yang mulai mencari sasaran publik awam, disamping fotografi, juga sinematografi mulai mencari penggemar amatir. Tahun 1923, Eastman Kodak Company memperkenalkan kamera bioskop (movie camera) 16mm, dan pada tahun 1923 lahir pula Cine-Kodak Eight, kamera-sine 8mm yang menggunakan film format 16mm. dalam pemakaian, film terbagi menjadi dua jalur, mula-mula dicahayai separuh, salah satu sisinya, setelah habis lalu kumparan-isi harus bertukar tempat dengan kumparan kosong, dan film dicahayai lagi pada sisi yang belum tercahayai. Film setelah diproses lalu dibelah dua, kemudian disambungkan dan digulung ke kumparan untuk diprojeksikan. Berkat George Eastman, dunia fotografi menjadi ‘mainan’ populer seperti sekarang ini. Maka guna mengenang jasa-jasanya, pada tahun 1947 di Rochester, New York, kotanya perusahaan Eastman Kodak, telah didirikan sebuah museum fotografi yang diberi nama “The George Eastman House”. Di museum ini dipamerkan secara permanen “The Art of Photography”, suatu perjalanan fotografi mulai daguerrotype hingga kini, dan banyak benda-bendar bersejarah mengenai fotografi lainnya. Singkatnya, semua hal yang berhubungan dengan penemuan fotografi terdapat di dalam museum tersebut.
Oskar Barnack dan Leica Keinginan untuk menciptakan kepraktisan dan keringkasan pada benda-benda yang dipakai manusia, bukan baru terjadi pada zaman sekarang, seperti era peringkasan yang gencar dengan istilah ‘compact’ bagi produk kamera-kamera 35mm. di zaman pra fotografi 35mm pun, hal serupa sudah terpikirkan, kendati belum terbumbui dengan hal-hal yang bersifat ergonomik dan komfort. Oskar Barnack, seorang karyawan pabrik kamera dan optik Leitz, ahli dalam bidang mekaini dan kepala bagian produksi, juga seorang penggemar foto yang antusia, yang merasakan betapa besar beban yang harus ditanggung oleh seorang penggemar foto, setiap kali ia hendak melakukan perjalanan pemotretan, karena yang namanya kamera waktu itu bukan hanya tak dapat digenggam oleh kedua belah tangan atau digantungkan di pundak, melainkan untuk di bawa seorang diri pun sudah sulit, karena kamera dan kakitiga menyatu, sehingga harus dipanggul sedikitnya oleh dua orang, bila hendak berpindah tempat. Karena alasan tersebut, timbullah suatu gagasan di benak Oskar muda pada tahun 1912 : “Negatif kecil-foto besar”. Maka kemudian ia mematangkan gagasannya dan sekaligus menyiapkan untuk membuat suatu kamera yang ringan, kecil, mudah dibawa,bebas dari kakitiga dan beban-beban lainnya. Sebenarnya Oskar Barnack selain menjadi penggemar foto, juga adalah seorang pembuat film cerita. Dalam bekerja, untuk mendapatkan pencahayaan yang baik dan tepat, biasanya ia menjalankan kamera terisi film, dan menghabiskan bermeter-meter film dengan bukaan diafragma beragam, lalu cepat-cepat film diproses, sekedar untuk mengetahui bukaan diafragma berapa yang paling tepat. Sebagai seorang pendesain, ia lalu berpikir, alangkah baiknya bila ia dapat membuat sebuah kamera kecil yang dapat diisi film yang sama seperti dipergunakan dalam kamera-cine besar. Maksudnya semula, kamera kecil itu hanya akan dipergunakan dalam kamera-cine besar. Maksudnya semula, kamera kecil itu hanya akan dipergunakan sebagai alat “pengukur cahaya”, sebagai alat yang efektif juga ekonomis.
Akhirnya dengan persetujuan penuh majikannya, Dr. Ernst Leitz, ia boleh mencurahkan segenap keahliannya untuk menciptakan kamera angan-angannya itu. Menjelang akhir tahun 1913, terciptalah kamera tersebut tanpa nama. Baru di awal tahun 1914, sebuah nama diberikan : Leca. Nama yang diambil dari Leitz Camera. Film yang dipergunakan adalah format 35mm, sama dengan yang dipakai pada kamera-cine. Walaupun semula kamera tersebut diciptakan sebagai alat pengukur cahaya, tetapi setelah rampung ia menrupakan suatu kamera yang cukup lengkap fasilitasnya. Kebiasaan film berputar secara vertikal pada kamera-sine, pada Leca yang kemudian dikukuhkan menjadi Leica diubah lintas geraknya menjadi horisontal. Lalu format bingkai yang pada kamera-sine adalah 18x24mm, pada Leica diperbesar dua kali lipat menjadi 36×24.
Pada prototipe Leica ini terdapat pelengkap-pelengkap serba baru, ialah pemutar film yang sekaligus berfungsi sebagai pengokang rana, rana celah yang dapat membuka dalam berbagai ukuran dan kaset sebagai pelindung, dan wadah film yang dapat dikeluar-masukkan di tempat terang.
Ternyata kemudian, bahwa kepercayaan yang diberikan Ernst Leitz kepada Oskar Barnack merupakan awal dari perkembangan fotografi modern, dan gagasan ke perkembangan kamera yang lebih ringkas. Pada pemunculannya yang pertama di Leipzig Fair, Leica model A buatan tahun 1925 walaupun banyak menarik perhatian, namun tidak seorang pun menduga bahwa kelak akan meraih sukses begitu besar, dan memacu perkembangan fotografi 35mm dengan agresif sekali, dan meninggalkan rival-rival yang berformat besar jauh di belakangnya.
Foto langsung jadi/ Polaroid Pada tahun 1947, Edwin H. Land memperkenalkan sistem fotografi baru yang disebut “instant photography”, foto langsung jadi, diberi nama Polaroid. Kelahiran Polaroid ini amat menggembirakan kalangan jurnalistik, terutama jurnalistik-foto, karena suatu peristiwa yang baru saja terjadi, dapat segera dikirimkan ke surat kabar, tanpa harus terlebih dahulu masuk ke kamar gelap. Maka aktualitas foto berita menjadi sebanding dengan berita. Pada sistem Polaroid, pada setiap lembar film dilengkapi juga dengan tabung berisi bahan-bahan pengembangan. Film setelah tercahayai harus ditarik keluar dari kamera, dan bersamaan dengan itu, tabung berisi pengembang pecah, larutan pengembangnya menyebar ke permukaan film secara merata karena harus lewat melalui rol-rol penekan. Selang 60 detik kemudian, di luar kamera film selesai terproses dan sekaligus terfiksir, juga telah tercetak ke atas kertasfoto yang sebelumnya menempel dengan negatifnya. Kelemahan pada sistem polaroid ini adalah tidak terdapat negatif untuk dicetak ulang atau dibesarkan fotonya, karena ‘negatif’ yang terbentuk tidak transparan, juga rapuh, karena memang tidak diciptakan untuk dipergunakan sebagai film negatif biasa.
Kamera Jepang Fotografi tumbuh di Eropa, berkembang di Amerika, berbuah di Asia. Kalau kita perhatikan, memang perkembangan geografis dunia fotografi cukup unik, walaupun perkembangan industri dan teknologi lainnya juga hampir sama dengan itu. Tetapi khususnya mengenai fotograf, setelah Perang Dunia ke-2, hanya dalam waktu sepuluh tahun lebih, industri fotografi Jepang sudah mulai mengalahkan Eropa, sehingga produk-produk fotografi, khususnya Jerman yang selama itu sudah amat terkenal, misalnya Leica, Contax, Rolleiflex, Vogtlander, Bauer, Eumig, dll, juga produk-produk Eropa lainnya secara berangsur-angsur namun pasti mulai tersaingi oleh nama-nama baru dari Jepang, antara lain Minolta, Konica, Canon, Nikon, Fuji, Pentax, Olympus, Yashica, Fujica, dll. Maka kemudian beberapa industri fotografi melakukan merger, misalnya Agfa dari Jerman dengan Gevaert dari Belgia, Ilford dari Inggris dengan Ciba dari Jerman, Zeiss-Ikon dengan Voigtlander, dll.
Pada sekitar peralihan dekade tujuhpuluhan ke delapanpuluh, terjadi penggabungan usaha antara Jerman dan Jepang : Leitz dengan Minolta, Zeiss/Contax dengan Yashica. Sejak awal delapanpuluhan, industri fotografi Asia mulai tumbuh juga di luar Jepang, umumnya semua berkat bantuan langsung maupun tak langsung dari Jepang juga. Paling dulu India, lalu Korea, Taiwan, Hong Kong, Singapura, Indonesia, Malaysia, Cina. Di negara-negara tersebut, yang dipacu erutama adalah industri kamera.
Berdasarkan tipenya, film terbagi menjadi dua tipe, yaitu:
Tipe film yang pertama adalah film Daylight atau film cerah hari, yang digunakan untuk memotret obyek-obyek yang sumber pencahayaannya berasal dari cahaya alam atau matahari, atau cahaya buatan yang kualitas cahayanya sebesar 5.500 derajat Kalvin.
Tipe film yang kedua adalah film Tungsten atau yang biasa digunakan untuk memotret obyek-obyek yang sumber pencahayaannya berasal dari cahaya buatan seperti lampu pijar atau lampu neon.Disebut sebagai film Daylight karena film ini mempunyai emulsi yang mempunyai derajat minimum kepekaan sinar atau cahaya sebesar 5.500 derajat Kalvin, sedangkan disebut sebagai film Tungsten karena film ini mempunyai derajat kepekaan sinar atau cahaya dibawah 3.200 derajat Kalvin.
Sedang berdasarkan jenisnya, film dibagi menjadi lima macam, yaitu:
Film negatif hitam-putih
Film negatif warna
Film positif warna (reversal / color slide)
Film x-ray
Film instan
Berdasarkan tingkat kepekaannya terhadap cahaya, film terbagi dalam empat macam, yaitu:
Film dengan tingkat kepekaan lamban
Film dengan tingkat kepekaan sedang
Film dengan tingkat kepekaan tinggi
Film dengan tingkat kepekaan sangat tinggi
Sedangkan kepekaan suatu film, ditandai dengan besar kecilnya angka ASA / ISO yang antara lain sebagai berikut:
ASA 25 – 64 untuk film dengan tingkat kepekaan rendah
ASA 100 – 200 untuk film dengan tingkat kepekaan sedang
ASA 400 – 800 untuk film dengan tingkat kepekaan tinggi
ASA 1600 – ~ untuk film dengan tingkat kepekaan sangat tinggi
Di Indonesia, film yang popular dan paling banyak digunakan oleh masyarakat pada saat ini adalah film yang ber ASA 200 (untuk film negatif warna).
Karakter Film
Dulu, sebelum tahun 1990, ada hukum yang berlaku di fotografi yaitu, semakin rendah tingkat ASA sebuah film, maka film tersebut pasti mempunyai butiran halida (grain) yang halus. Sedangkan tingkat ASA sebuah film yang tinggi mempunyai butiran halida yang kasar. Namun sejak tahun 1997 yang lalu, besarnya angka ASA film (misalnya ASA 200 hingga ASA 800) tidak lagi dapat diartikan bahwa film tersebut butiran halidanya kasar, sebab teknologi fotografi yang berkembang saat ini seperti misalnya teknologi yang ditemukan Fujifilm (Sygma Crystal dan DIR Coupler) sangat memungkinkan untuk memproduksi film yang ber ASA tinggi namun punya grain yang sangat halus.
Best Regards,
Jeremia David